Aku terlahir di tanah ini, di tanah yang dibilang subur ini, sebagai
bagian keluarga besar masyarakat Indonesia yang punya selera humor
tinggi. Bukan hanya itu, selain rasa humor, mbah-mbah ku dulu juga
orang-orang yang paham benar dengan apa itu yang namanya harga diri.
Saat mereka masih muda sepertiku, mereka
berjuang mati-matian hanya
untuk membela satu makhluk bernama harga diri sebagai bangsa yang berhak
merdeka. Jargon mereka yang sampai sekarang masih terniang-niang di
telinga anak cucunya termasuk aku adalah merdeka atau mati. Mungkin
sedikit berbeda jika kudengar cerita tetanggaku, nenek moyangnya dulu
lebih memilih merdeka bersyarat sebagai negara persemakmuran hanya
karena tergoda iming-iming akan berbagai fasilitas asal mereka nganut
dengan negeri induknya. Dan mungkin karena kenganutan – kepatuhan itu
membuat tetanggaku itu kurang tau dengan humor – sama sepertiku.
Sebagai manusia normal, dalam otakku sudah pasti terinternalisasi
untuk mencintai tanah kelahiranku. Tapi aku ragu, mungkin aku tidak
begitu cinta dengan tanah lahirku. Nyatanya, aku masih saja iri dan
ingin hidup di tanah tetanggaku yang punya banyak fasilitas itu, aku
disini masih sering mengeluhkan buruknya fasilitas meski bahan baku
apapun tersedia di tanah lahirku ini. Aku kadang iseng, menggerutu dalam
hati – “kenapa mbah dulu kau berjuang mati-matian untuk membela harga
diri sebagai bangsa yang layak merdeka, kenapa tak kau serahkan saja
bahan baku tanah lahirku ini pada Belanda untuk mereka kelola dan kita
bisa mencicipi sedikit masakan hasil olahan mereka, toh aku sekarang
lebih suka burger olahan Amerika daripada gaplek buatan mak, – toh
tetanggaku kini hidupnya enak, mapan, tercukupi dengan hanya bersedia
menyerahkan harga diri mereka dan menjadi negara persemakmuran Inggris.
Dan, toh seandainya engkau hidup sekarang – dan melihat betapa buruknya
aku, betapa aku tak paham tentang harga diri sebagai bangsa yang dulu
mati-matian engkau perjuangkan, kau mungkin menyesal mbah berjuang
mati-matian demi anak cucumu, demi aku – kau akan marah melihatku karena
aku hanya mengingat cerita heroikmu merebut kemerdekaan saat
tanggal-tanggal tertentu – dan aku hanya mengingatnya sebagai cerita,
bukan untuk kuteladani sebagai prilakuku sehari-hari. Dan akhirnya, kau
hanya berucap sinis padaku ‘Sudah dibelain mati-matian, malah ngedhumel –
nyalahke, gak tau diuntung, diwei ati njaluk rempelo, bocah
ndhablek!!!”
Keluarga besar masyarakat tanah lahirku punya selera humor yang
tinggi, tapi tidak bagiku – aku tidak mewarisi ini dari mbah-mbahku, aku
tak punya satupun lelucon untuk kulontarkan padamu, tapi aku selalu
ikut tertawa jika mereka tertawa. Mereka tetap bisa tertawa dalam
keadaan apapun, saat krisis global mereka masih bisa tertawa, – bahkan
makin ngakak, dilanda bencana pun masih saja membuat lelucon – bu LSM,
mas Ormas, mbak Partai, pak Pemerintah ramai-ramai datang memberi mereka
bantuan dengan menancapkan bendera di sekitar tenda pengungsian, dan
keluarga besar tanah lahirku itu menyambutnya dengan tersenyum sinis
“terima kasih pak, bu, mbak, mas, lain kali benderanya lebih besar lagi –
biar semua orang tau kalau kalianlah yang pernah membantu kami“. Jangan
tanya kehidupan sehari-hari keluarga besar tanah lahirku itu, mereka
seringkali saling mentertawakan saat salah satu anggota keluarga
menciptakan karya, “ah, mobil buatan lokal – bagus sih, tapi kualitasnya
paling-paling bertahan satu dua tahun, hehe, harga jualnya pasti
merosot, onderdilnya juga pasti mahal, mending beli yang pasti aja deh
daripada beli mobil geje”. Dan sekarang selera humor mereka makin tinggi
dengan banyaknya tayangan komedi di TV tiap harinya yang dibiayai
sponsor dengan nilai sangat mahal, yang mungkin biaya acara komedi itu
cukup untuk menyumbang subsidi pendidikan tiap bulannya. Sarkasme,
penghinaan harkat, rasisme, pelecehan HAM, sudah menjadi sebuah
kewajaran jika dilakukan saat sedang melucu, karena keluarga besar tanah
lahirku sudah paham benar dengan apa itu harga diri, beda denganku –
aku masih menganggap itu sebagai hal yang tabu. Tapi bagimu yang
berprofesi sebagai guru, jangan sesekali melontarkan kata-kata berbau
sarkasme, rasis, dsj saat mengajari putra-putri keluarga besar tanah
lahirku, sekalipun kau hanya berniat melucu – menghilangkan kejenuhan
dalam kelas, kau akan segera dituduh melecehkan HAM dan kau akan
dilaporkan pada pihak berwajib.
Bagaimana denganku? Aku belum tahu apapun tentang humor dan harga
diri. Aku memilih menjadi seperti ikan mati – mengikuti arus air. Kalau
keluarga besar tanah lahirku tertawa, aku ikut tertawa, kalau mereka
marah, aku juga ikut marah. Kalau kapal tetangga tanpa ijin masuk
wilayah tanah lahirku, aku ikut merasa marah dan geram karena aku lihat
keluargaku juga demikian. Kalau tarian, musik, ataupun wayang warisan
mbahku diklaim tetanggaku sebagai miliknya, keluarga besar tanah lahirku
sudah pasti marah besar, dan aku juga ikut marah besar, meskipun aku
sendiri tidak tahu tarian apa itu, musik apa itu, apa sih wayang, lah
wong aku lebih suka yang dari kebarat-baratan biar dianggap modern kok –
tapi gak apa lah, yang penting ikut marah biar gak dituduh sebagai
penghianat bangsa.
Kadang aku juga bingung dengan keluarga besar tanah lahirku itu.
kalau hal-hal yang menurutku jarang mereka gunakan dalam keseharian
diklaim tetangga, mereka marah besar. Tapi, kalau hal-hal mendasar yang
menjadi kebutuhan sehari-hari dikuasai tetangga, mereka justru
mendukung. Dan aku pun juga ikut mendukung, selain karena ikut-ikutan,
mungkin juga karena aku suka kebarat-baratan yang modern itu. Kalau
disuruh milih, aku lebih suka belanja di supermarket modern yang
kebanyakan milik tetanggaku itu daripada belanja di pasar tradisional
milik keluargaku sendiri, lah keluarga besar tanah lahirku sendiri juga
suka belanja di sana. Melihat sikap keluarga besar tanah lahirku seperti
demikian, aku menjadi lebih tidak paham lagi dan bahkan sudah lupa
pesan mbah-mbahku agar aku mencari tahu arti kata harga diri yang
dimaksudkan mbah-mbahku dulu. Maaf, mbah – aku bosan mengingat cerita
heroikmu berjuang mati-matian demi harga diri. Aku lebih tertarik
mencari arti kata humor di google daripada menelusuri lembaran kamus
untuk mencari arti kata harga diri. Maaf, mbah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar